Sumatera, 10 Juni 2025 || Satu bulan setelah dilaporkan, 16 laporan dugaan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh 9 pemilik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara di Pulau Sumatera ke Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia pada 5 Mei 2025, hingga saat ini belum diverifikasi oleh petugas LHK RI.
Dugaan pelanggaran kejahatan lingkungan tersebut disampaikan oleh masyarakat sipil yang bergabung dalam koalisi Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB), kumpulan 15 organisasi masyarakat sipil di Pulau Sumatera yang beberapa tahun terakhir memantau pengelolaan lingkungan di 9 PLTU batubara di Pulau Andalas itu.
Setidaknya ada 16 indikasi kejahatan lingkungan berupa pembuangan limbah abu bawah dan abu atas atau yang lebih dikenal dengan fly ash bottom ash (FABA) yang telah dilakukan oleh PT PLN Nusantara Power dan PT Meulaboh Power Generation di Nagan Raya Aceh, PT PLN Nusantara Power Cabang Ombilin Sumatera Barat, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) UB JOM PLTU Tenayan Raya di Pekan Baru, PT PLN Indonesia Power di Pangkalan Susu, Sumatera Utara, PT Permata Prima Elektrindo di Jambi, PT Tenaga Listrik Bengkulu di Bengkulu, PT Priyamanaya di Kabupaten Lahat, PT PLN (Persero) di Lampung.
Bentuk kejahatan lainnya adalah dugaan penggunaan serbuk kayu dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) sebagai bahan camburan pembakaran batubara oleh PT PLN Nusantara Power dan PT Meulaboh Power Generation di Nagan Raya Aceh, penutupan Sungai Niru dalam proyek konstruksi PLTU Sumsel 1 di Muara Enim Sumatera Selatan dan pengelolaan stockpile batubara yang tidak sesuai standar oleh PT PLN Indonesia Power di Pangkalan Susu, Sumatera Utara, serta ketidakmampuan sistem penangkal petir Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) PT Tenaga Listrik Bengkulu yang membuat warga Desa padang Kuas Bengkulu merugi.
Konsolidator STuEB, Ali Akbar menyatakan bahwa temuan ini menunjukkan bahwa 9 perusahaan secara sengaja dan terang-terangan mengangkangi peraturan tentang pengelolaan limbah FABA, peraturan tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ilegal logging atau perambahan kawasan hutan. Fakta ini juga menunjukan bahwa perusahan ini tidak peduli dengan keselamatan lingkungan yang berpotensi meningkatkan penderitaan rakyat baik pada sektor kesehatan maupun sektor ekonomi dalam bentuk turunnya layanan ekosistem.
Begitupun yang terjadi di Bengkulu, Sumbar, Riau, PLTU batubara telah menyebabkan FABA beterbangan di sekitar pemukiman. Di Sumatera Utara, Aceh dan Lampung tumpukan abu berada di sekitar perairan laut, sementara di Jambi dan Lahat abu mengalir ke Sungai Tembesi dan Sungai Pule, di mana perusahaan secara sengaja membuang FABA ke media lingkungan dan menyebabkan tanah dan air tercemar.
Sahwan, Ketua Yayasan Anak padi Lahat Sumatera Selatan mengatakan pengaduan yang dilakukan lewat aplikasi Kementerian LH itu seharusnya mempermudah akses masyarakat dan efisiensi kinerja pemerintah dalam menerima laporan kejahatan lingkungan, namun laporan pihaknya justru tidak digubris atau direspon.
“Setiap hari masyarakat Desa Muara Maung dan Kecamatan Merapi Barat menghirup debu dari penggalian batubara dan abu dari pembakaran PLTU Keban Agung. Dampaknya sudah ribuan orang terkena ISPA, belum lagi merosotnya hasil panen petani palawija karena tanah tercemar,” kata Sahwan.
Boni Bangun dari Sumsel Bersih Sumatera Selatan mengatakan PLTU Sumsel 1 di Muara Enim yang belum produksi juga telah menimbulkan dampak negatif atas kerusakan lingkungan, mulai rusaknya Bukit Kancil yang merupakan hutan atau wilayah resapan air serta pemindahan anak Sungai Niru dalam pendirian PLTU. Hal ini mengakibatkan potensi bencana alam semakin tinggi dan wilayah kelola masyakarat semakin sempit.
“Seharusnya pemerintah harus lebih peka terhadap ancaman yang akan berdampak bagi masyarakat ring 1 PLTU. Kami mendesak pemerintah pusat hingga daerah untuk segera melakukan evaluasi terhadap keberadaan PLTU Sumsel 1,” kata Boni. Alfi Syukri dari LBH Padang menilai hal ini menunjukkan telah terjadi kekosongan hukum dalam menjalankan konstitusi untuk melindungi lingkungan dan rakyat. Padahal sesuai Peraturan Pemerintah nomor 22 Tahun 2021 dan Permen LH 9 Tahun 2010 menegaskan bahwa negara wajib menindaklanjuti setiap pengaduan atas pelanggaran lingkungan paling lambat 10 hari kerja.
“Masyarakat Sijantang Koto Sawah Lunto berpuluh tahun menghirup abu beracun, FABA ditumpuk di tepi Sungai Batang Ombilin mengakibatkan sungai tercemar. Ini bukan sekadar administrasi, tapi pembiaran atas penjarahan sumber daya alam. Yang dikorbankan bukan hanya hari ini, tapi masa depan generasi kita,” katanya.
Direktur Apel Green Aceh, Syukur juga menilai cara kerja pemerintah ini sama sekali tidak memihak rakyat korban kerusakan lingkungan, sebaliknya justru memihak investasi energi kotor.
“Sementara nelayan kini tak lagi hanya menarik ikan, tapi batubara yang tumpah di laut, petani yang dulu panen hingga 4 ton per hektar kini hanya mendapat 30 kilogram beras, sebuah kemunduran tragis yang dibiarkan begitu saja. Sementara itu, di sekitar PLTU, ratusan warga menderita ISPA dan penyakit kulit, namun negara seakan tutup mata,” katanya.
Ia pun mempertanyakan penerapan pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menjanjikan kemakmuran bagi rakyat. Ia menegaskan, jika Kementerian Lingkungan Hidup tak segera bertindak, maka jelas sudah, negara lebih peduli pada batubara daripada nyawa warganya.
Pernyataan Syukur ini diperkuat Aldi Ferdian dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh, yang menyebutkan bahwa tumpahan batu bara yang terjadi di pesisir pantai Aceh Barat membuktikan penindasan terhadap rakyat oleh korporasi batu bara. Jika tidak ada tindakan tegas dan nyata dari pemerintah maka ia menilai negara turut melanggengkan tindakan korporasi yang menindas rakyat.
Sementara Direktur LBH Pekanbaru Andri Alatas menilai situasi negara saat ini seperti dilanda malam sepanjang masa, cita-cita pensiun dini PLTU hanya omon-omon. Pengaduan hasil pemantauan yang dilakukan di berbagai daerah se Sumatera menunjukkan urgensi untuk menjalankan pengawasan dan memberikan sanksi tegas terhadap aktivitas PLTU yang merusak dan mencemari lingkungan. Hal ini sejalan dengan fungsi pengawasan sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang direvisi dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
“Persoalan penumpukan FABA batu bara di Tenayan Raya bersifat mendesak untuk ditindaklanjuti, pasalnya area tersebut menjadi rawan banjir dan longsor, bahkan menurut masyarakat belum ada jaminan pemulihan dan tindakan tegas hingga saat ini kepada pihak PLTU Tenayan Raya dan kami juga turut mendesak untuk adanya pemulihan Sungai Siak yang tak kunjung dilakukan, walaupun sudah bertahun-tahun tercemar yang pada akhirnya seluruh nelayan yang memanfaatkan Sungai Siak hidup menderita berkepanjangan,” kata Andri.
Deri Sopian, dari Lembaga Tiga Beradik (LTB) Jambi, menjelaskan laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan PT. Permata Prima Elektrindo Semaran, Pauh, Sarolangun Jambi melalui situs lapor.go.id diharapkan segera mendapat respon dari Kementerian LH.
“Karena dari pantauan lapangan yang dilakukan, lokasi penumpukan limbah FABA PLTU berada di lokasi terbuka tanpa pembatas keamanan dan berada di lokasi yang rawan banjir. Kami menduga hal ini akan menyebabkan tercemarnya anak Sungai Ale dan Tembesi saat sungai Tembesi meluap, karena luapan sungai Tembesi sampai ke lokasi pembuagan FABA,” ucapnya.
Aji Surya, Pengkampanye Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara menilai alih-alih membawa terang, kehadiran PLTU batu bara justru menyelimuti Sumatera dengan asap pekat dan abu beracun.
“Di Sumut operasi PLTU Pangkalan Susu membuat petani menjual sawahnya, nelayan tidak lagi mendapatkan ikan, penyakit seperti ISPA, penyakit kulit sudah jadi hal normal, bahkan anak-anak harus terus mengkonsumsi obat – obatan setiap harinya agar terhindar dari penyakit. ni bukan transisi energi seperti yang dijanjikan, ini adalah tragedi lingkungan,” kata Aji.
Sementara Prabowo Pamungkas, Kadiv Advokasi LBH Lampung menambahkan, operasional PLTU Sebalang dan Tarahan membuat lingkungan tercemar karena ceceran batubara sepanjang jalan dalam proses pengangkutan serta merusak jalan di kampung-kampung yang dilalui truk pengangkut batubara.
Di sisi lain, saat diperiksa, website https://pengaduan.menlhk.go.id/ masih dalam proses MAINTENANCE/PERBAIKAN, hal ini tentunya menjadi penghambat dalam menyampaikan laporan kerusak lingkungan.