Kerusakan hutan di Provinsi Riau semakin parah. Konsesi hutan, ekspansi perkebunan sawit, hingga maraknya praktik illegal logging menjadi biang keladi hancurnya ekosistem hutan di Riau. Meski pihak kepolisian kerap menangkap pelaku penebangan liar, upaya tersebut belum mampu menghentikan laju kerusakan. Sejumlah regulasi seperti Undang-Undang No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang No.6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja seolah belum efektif menghadapi permasalahan ini.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), lebih dari 55% hutan di Riau kini dikuasai oleh investor, termasuk sektor perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi Alam (HPA), serta belasan izin pertambangan. Kegiatan eksploitasi ini tidak hanya merusak vegetasi hutan, tetapi juga memicu konflik antara manusia dan satwa liar, merusak wilayah jelajah satwa, dan memperparah krisis iklim.
Lebih miris lagi, praktik illegal logging sering kali dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi tanpa izin atau dengan cara-cara yang melanggar hukum. Aktivitas mereka merusak hutan, sekaligus mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada hutan tersebut. Dalam banyak kasus, masyarakat adat justru menjadi korban kriminalisasi ketika mencoba mempertahankan tanah dan sumber daya alam mereka dari perusakan.
Kerusakan hutan yang terus terjadi di Riau dan dampaknya yang kian meluas tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada hutan sebagai sumber mata pencaharian. Praktik illegal logging yang berlangsung lama telah memicu berbagai konflik, baik sosial maupun lingkungan, yang semakin memperburuk ketimpangan. Masyarakat lokal kerap kali menjadi korban atas ketidakmampuan mereka dalam melindungi wilayah hutan adatnya, terutama karena kurangnya pemahaman terkait mekanisme hukum dan advokasi yang efektif. Ketiadaan akses ke informasi dan rendahnya partisipasi dalam pengambilan keputusan membuat mereka rentan terhadap kriminalisasi dan penindasan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu komunitas adat yang terdampak adalah masyarakat adat Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau. Mereka menjadi saksi nyata bagaimana hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka terus dirampas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Menyadari kondisi ini, Yayasan Srikandi Lestari mengadakan kegiatan pelatihan untuk memberdayakan masyarakat adat dan komunitas lokal, dengan tujuan meningkatkan kapasitas mereka dalam menjaga kelestarian hutan dan mengatasi ancaman illegal logging yang terus membayangi. Pelatihan ini juga menjadi langkah penting untuk memperkuat kemampuan advokasi mereka, sehingga masyarakat adat dapat lebih efektif dalam menuntut hak-hak mereka dan mempertahankan hutan sebagai warisan bersama.
Dalam pelatihan yang digelar pada 5-7 Oktober, masyarakat adat Talang Mamak belajar tentang pentingnya perlindungan hutan dan mekanisme hukum yang bisa digunakan untuk melawan illegal logging. Pelatihan ini melibatkan berbagai pihak yakni Yayasan Srikandi Lestari, masyarakat adat dari 11 desa, serta perwakilan pemerintah. Salah satu hasil penting dari pelatihan ini adalah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara komunitas adat, organisasi pendamping, dan pemerintah daerah untuk menjaga kelestarian hutan adat mereka.
Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat adat, meski sering terpinggirkan, tetap bertekad untuk melindungi hutan mereka dari ancaman perusakan. Namun, tantangan besar masih ada di depan. Perlindungan hutan memerlukan dukungan penuh dari pemerintah, penegakan hukum yang tegas, dan kerja sama yang berkelanjutan dari berbagai pihak.
Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan hutan di Provinsi Riau, terutama kawasan yang menjadi wilayah adat, dapat terselamatkan dari ancaman illegal logging yang kian menggila.