Langkat – Lauching Buku penelitian study kasus dampak kerusakan lingkungan pada kemiskinan dan perkawinan anak di Kabupaten Deli Serdang di Provinsi Sumatera Utara yang di lakukan di Desa Sei Siur Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Rabu. (13/11/24).
Penelitian yang di Lakukan oleh Dewi Hairani ini mengungkapkan, Ekosistem Mangrove Indonesia berada dalam kondisi kritis.
“Berdasarkan Peta Mangrove Nasional yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, luas total ekosistem mangrove Indonesia mencapai 3.364.076 Ha atau 20,37% dari luas total dunia,” kata Dewi.
Lebih lanjut dirinya mengatakan Provinsi Sumatera Utara memiliki luas mangrove sebesar 50.369,793 ha, baginya kerusakan lingkungan laut dan pesisir berkaitan dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
“Terlihat dari meningkatnya jumlah penduduk miskin ekstrem di wilayah pesisir, dari 2,1 juta pada tahun 2011 menjadi 3,9 juta orang pada tahun 2022. Selain itu, jumlah penduduk miskin secara keseluruhan meningkat secara signifikan dari 7,8 juta menjadi 17,7 juta orang pada periode yang sama,” ungkapnya.
Diketahui juga Provinsi Sumatera Utara memiliki luas kawasan hutan dan konservasi air sebesar 3.055.794 hektar. Namun, saat ini provinsi ini memiliki lahan kritis dan sangat kritis (1.338.810 ha). Sementara itu, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk survei/eksplorasi tambang dan non-tambang hingga tahun 2021 telah diberikan oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara sebanyak 3 unit dengan luas mencapai 21.698,38 ha.
Dewi juga menyebutkan bahwa kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara mengakibatkan pencemaran, degradasi dan erosi tanah.
“Kabupaten Deli Serdang mengalami kerugian akibat kerusakan lingkungan ini” ucapnya.
Menurut penelitian dari Universitas Sumatera Utara, pada periode 1977-2006, luas hutan mangrove mencapai 103.425 hektar. Namun, pada periode 2010-2020, luas hutan mangrove yang tersisa hanya sekitar 41.700 hektar.
“Penyusutan lahan ini menyebabkan penurunan jumlah ikan hingga 66 persen, di mana 28 persen dari jenis ikan tersebut tidak pernah ditemukan lagi oleh nelayan, hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan hingga 40 persen,” ujar Dewi yang juga sebagai Manajer Program Yayasan Srikandi Lestari
Penelitian yang juga mebahahas pernikahan anak di Indonesia, termasuk di pesisir timur Sumatra, adalah sebuah masalah serius, karena hal ini cenderung menjerumuskan anak ke dalam masalah yang lebih kompleks, seperti kekerasan fisik dan psikologis, serta gangguan reproduksi.
“Di tengah isu penurunan angka pernikahan nasional menjadi 7,5 persen pada tahun 2023, ternyata Indonesia masih dihadapkan dengan segudang masalah pernikahan anak,” pungkasnya. (kry)